SPERS MABES TNI DAN UNKRISNA ADALAH PERGURUAN TINGGI YANG BEKERJASAMA DENGAN MABES TNI

SPER MABES TNI DAN UNKRISNA ADALAH PERGURUAN TINGGI YANG BEKERJA SAMA DENGAN MABES TNI

Rabu, 03 Februari 2010

AGAMA SEBAGAI MODAL SOSIAL

Agama sebagai Modal Sosial

Oleh : Thomas Harming Suwarta

KabarIndonesia - Ketika tulisan ini dibuat, penulis merupakan salah satu delegasi Indonesia dalam RI–US Interfaith Cooperation Forum; sebuah pertemuan lintas agama antara Pemerintah RI dengan Pemerintah AS yang diadakan di Jakarta pada 25-27 Januari 2010 yang lalu. Sebagai kerangka acuan bersama, pertemuan ini diarahkan pada terbentuknya wadah dan model kerjasama lintas agama di antara kedua Negara.

Bagi pemerintah Amerika, kegiatan interfaith cooperation ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan Barack Obama sebagaimana dikatakan pada sambutan pelantikkannya sebagai Presiden, 20 Januari 2009 lalu. Saat itu, Barack Obama mengajak dunia islam melangkah ke depan dengan dasar penghargaan dan kepentingan bersama (Mutual respect and mutual interest).

Selain itu, ia juga menegaskan komitmen AS untuk mengambil peran dalam era baru menciptakan perdamaian dunia atas dasar penghormatan terhadap perbedaan suku, agama, bangsa, bahasa dan budaya. Hal yang sama ia sampaikan pada kuliah umum di Universitas Kairo, 4 Juni 2009, bahwa AS mendukung penuh kegiatan interfaith dialogue dan Alliance of Civilizations. Obama juga melansir komitmen AS untuk melawan streotip negatif Islam di kalangan dunia barat.

Ada beberapa hal yang menjadi topik selama tiga hari pertemuan ini; seperti bagaimana agama-agama mampu bekerjasama memberantas kemiskinan dan perubahan iklim. Dalam konteks ini, agama-agama tidak bisa tidak harus terlibat secara intensif dalam pemberantasan kemiskinan dan perubahan iklim, yang sedang mengancam umat manusia dan segenap ciptaan hari-hari ini.

Selain itu, dibicarakan juga bagaimana agama-agama mengembangkan pendidikan (formal dan non-formal) untuk memperoleh pemahaman bersama, tentang nilai-nilai pluralisme dan kesadaran akan pentingnya membangun kerjasama agama-agama dalam menjawab tantangan global. Penting dicatat, pendidikan menjadi sarana teramat penting untuk penanaman nilai-nilai ini. Pertemuan ini juga mengangkat bagaimana agama-agama mampu memberi kontribusi bagi terciptanya suatu tata pemerintahan yang baik, yang berkeadilan dan dengan demikian menyejahterakan sehingga terwujud apa yang kita sebut sebagai kebaikan bersama atau the common good itu.

Secara politis, tentu pertemuan ini mampu menjembatani kerjasama bilateral antar kedua negara agar menjadi lebih baik. Ketika Barat, terutama setelah peristiwa 9/11 itu, mencitrakan Islam sebagai ‘momok yang menakutkan’, maka pertemuan ini menjadi jembatan untuk membangun citra keagamaan dan pemahaman yang tepat tentang per se agama Islam, tanpa melupakan kelompok agama yang lain. Selain itu, Indonesia, dengan demikian mampu menunjukkan pada dunia internasional sebagai negara yang sedang sungguh-sungguh membangun demokrasi menuju tingkat kematangannya. Bukankah keterbukaan, menjadi nilai penting dalam demokrasi?

Lebih daripada itu, hal ini hendak menegaskan kembali pada kita, tentang hakikat agama-agama sekaligus juga kritik terhadap agama-agama. Akankah agama-agama terus-menerus berkutat dengan persoalan formalistik ajarannya, dan lupa akan tugas dan peran sosialnya di tengah masyarakat? Akankah penghayatan iman sebagai umat beragama menjadi sangat ‘privat’ dan dengan demikian ‘eksklusif’ tanpa berkaitan dengan realitas sosial di sekitarnya? Akankah agama terus menerus berbicara tentang ‘keselamatan’ yang akan datang (visi eskatologis agama), tanpa mengusahakan bahwa keselamatan harus sudah terwujud saat ini dan di sini di dunia ini (hic et nunc)? Pertanyaan-pertanyaan ini penting dijawab. Jangan sampai terjadi bahwa agama-agama kemudian menjadi sesuatu yang ‘asing’ dan ‘terpisah’ dari dunia, padahal ia lahir, hidup dan ada di dunia.

Eddy Kristiyanto dalam bukunya Sakramen Politik mengatakan bahwa keterlibatan sosial merupakan suatu imperatif moral yang keberadaannya inheren dalam agama-agama, apa pun itu (Jakarta: 2008). Jadi ketika agama-agama tidak bersentuhan sama sekali dengan soal-soal sosial di tengah masyarakat, saat itulah agama menjadi skandal. Adalah keterlibatan sosial agama-agama merupakan bentuk deprivatisasi iman; iman yang tidak individualistik, tetapi sosial. Pesan kuat yang digaungkan kemudian adalah bagaimana agama-agama kemudian membangun kerja sama, sedapat mungkin menjadi kekuatan sosial di dalam masyarakat yang mampu menjawab soal-soal kemanusiaan. Agama-agama dengan kata lain harus bersinergi satu sama lain untuk menjadi modal sosial berhadapan dengan soal-soal global, seperti kemiskinan, perubahan iklim, peperangan, ketidakadilan ekologis, dsb.

Setiap agama bisa saja mengklaim diri, bahwa agamanya sudah berbuat sesuatu, tetapi mungkin belum menjadi suatu kerja bersama. Jadi, selain daripada kesadaran sosial pada masing-masing agama harus terus dikembangkan, kerjasama satu dengan yang lain, menjadi sesuatu yang sangat mendesak. Selain mampu menjadi kekuatan yang besar, kerjasama lintas agama ini pun menjadi jembatan untuk mengikis kepicikan kita dalam berelasi dan membangun hidup bersama dalam kultur yang beragam. Inilah juga bentuk dialog lintas agama yang sesungguhnya. Pada tataran teoritis, agama-agama bisa saling memahami, dan pada tataran praktis agama-agama peka terhadap ‘dunia’ dan menjadikannya ‘baik’ bagi semua manusia dan ciptaan Tuhan yang lain.

Agama kemudian bukan saja menjadi modal spiritual di tengah masyarakat, tetapi menjadi modal sosial untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Di Indonesia, ini menjadi tugas besar dan mulia, bukan saja karena beragamnya agama, tetapi juga karena Indonesia sedang digerogoti oleh aneka macam persoalan, yang tidak hanya bisa kita letakkan pada pemerintah, tetapi melibatkan semua elemen masyarakat, termasuk agama-agama. Dari kerjasama lintas agama inilah, kita berharap lahir Indonesia baru yang berkeadilan, damai dan demokratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar